Powered By Blogger

Sudut Kreatif

Tuesday, February 3, 2009

Mikhail yang melibaskan hujan


dulu pernah terlintas dalam kotak fikirku kalau bulan november ini memang harus kuberi penghormatan. ini kali fikiran itu melintas lagi kerna di luar kesadaranku, tatkala aku menuliskan ini, aku telah berada di pertengahan november.

di waktu kecilku di perdesaan pantai timur, yang bisa kuingat bulan november (termasuk bulan-bulan penghujung tahun) adalah waktunya tuhan melangsungkan 'ritual penyucian bumi'. bulan keriangan di mana kami anak-anak kecil setiap petang menanti turunnya 'sesuatu' dari langit. hujan. air. sememangnya adalah lambang penyucian.ibu bilang padaku waktu itu, kalau yang menurunkan hujan itu adalah malaikat rahmat bernama Mikhail.

dan aku mula memikirkan bagaimana Mikhail menebarkan hujan ke serata pelusuk bumi. apa mungkin dia punya sebuah bejana seluas langit yang di lubangkan dan air di alirkan melaluinya menjadi titis-titis hujan. dan ibu juga bilang malaikat-malaikat Tuhan itu bersayap. mungkin Mikhail hanya mengibas air dengan sayapnya ke mana arah hujan ingin dia turunkan. dan kemudian aku bermenung memikirkan akan Mikhail itu sendiri.

Seberapa besarkah sayapnya buat menebarkan renjisan hujan. makanya pernah juga aku terfikir untuk menjadi malaikat itu sendiri.tetapi momen-momen tentang hujan telah lama tersimpan untuk sekali sekala melintasi kotak fikir sebagai ingatan masa lalu yang tidak tergantikan. terkadang di bulan-bulan begini, satu-persatu momen-momen ini bermunculan memberi salam ingatan di fikiran.

namun, aku berani bertaruh sebagai hampas neraka sekalipun, hujan yang turun hari ini bukanlah hujan seperti yang menimpa kepalaku saat berkejaran di padang bersama teman-teman lebih dua puluh tahun lalu.kalau dulu aku mungkin bilang kalau hujan sebagai ritual penyucian bumi itu bagai memberi kekuatan. atau penyembuhan. atau setidaknya, menyegarkan.

kini, dalam kehidupanku di antara himpitan hutan batu yang jarang ketemu pohonan dan tanah, terdesak antara asap dan aspal (dan terkadang merasakan diri tak lebih dari sekadar asbak), tubuhku hanya tersedia untuk diluluhlantakkan asid dan toksik dan hujan bisa jadi agen pelumat yang bakal membuatku separuh sekarat yang tidak lagi turun dengan label 'rahmat'. dasarnya, kerakusan manusia dalam menjadi arsitektur perosak muka bumi memang tidak tertanding.


hujan tidak lagi sebagai air yang diwakili rumus H2O di dalam sains tetapi turut diinstalasi bermacam bahan sampingan yang tak bisa disebutkan identiti saintifiknya.ya, kelmarin aku ditimpa hujan saat pulang kerja. hari ini aku ditimpa hujan lagi di jalanan kota.sialnya, tiada segar, tiada nyaman. tambah celaka, udara berkabut kotoran, hawa udara berbaur tar aspal menusuk hidung. sebagai penambah perisa, kegagalan sistem saliran menambah aroma menyucuk dan menyesakkan dada.

aku hanya tahu aku tidak ingin ketemu ini dalam hari-hariku tapi aku akur di kaki november. aku hanya mahu cepat pulang ke perlindunganku atau esok bakal menyaksikan aku di kamar doktor memohon sekeping kertas pengesahan cuti sakit.................

tenang-tenang, aku duduk di balkoni rumah. gerimis masih menitis. gerimis dalam bentuk yang sama sewaktu aku masih anak-anak di perdesaan. mirip pada zahirnya, tapi isi dan tawarannya beda. kalau hujan di waktu kecilku adalah penyembuhan, kini hujan memaksaku menelan aspirin atau paracetamol untuk mengelakkan kepalaku terasa bagai dihentak-hentak dari setiap penjuru.

ku kembali menghirup kopi panas perlahan-lahan. melihat gerimis turun biarpun tidak seperti waktu-waktu dahulu, terkadang membuatku hanyut kembali meniti momen-momen yang masih terakam di ingatan. momen-momen yang tidak bakal ku ulang lagi, tapi aku fikirkan kalau suatu waktu kehadapan yang entah bila, apa mungkin titis-titis hujan yang menimpa tubuh bakal mereput dan meluluh atau mencairkan daging dan kulit serta merta.

kalau saja kemungkinan itu berlaku, sulit untuk aku percaya Mikhail si malaikat rahmat yang menurunkan hujan. Marduk barangkali...

Posted by DARWIS MERAH

No comments:

Powered By Blogger