Powered By Blogger

Sudut Kreatif

Wednesday, March 4, 2009

Aku Bukan Islam?


Alkisah, raja Persia yang bernama Tukla, mengunjungi salah satu orang saleh dan berkata, “Kegagalan telah melandaku. Hanya orang miskin yang mendapatkan kekayaan di dunia ini, bila kemuliaan dunia ditinggalkan. Oleh karena itu, kini aku akan habiskan waktuku beribadah agar aku bisa memanfaatkan waktuku yang tersisa bagiku”. Orang saleh yang mendengarkan marah lalu berkata, “Cukup!”. Lalu ia berseru, “Agama bertindak sama dalam memberikan pelayanan kepada manusia; yang pelayanan kepada umat manusia tersebut tidak akan ditemukan dalam tasbih, atau diatas sajadah atau pada pakaian yang compang-camping. Jadilah seorang raja yang bermoral suci. Berbuatlah dan bukan hanya kata-kata, yang dituntut oleh agama, karena kata-kata tanpa perbuatan adalah kesia-siaan”.
Penggalan cerita ini tertulis pada buku berjudul Bustan, salah satu magnus opus-nya Sang penyair besar Persia, Sa’di. Kalu coba kita renungkan, maka pada penggalan tersebut, Sa’di ingin memberikan ‘hikmah’ bahwa: Pertama, agama (dalam artian konsep takdir) bukanlah sebuah upaya justifikasi terhadap gagalnya kita dengan segala upaya kita. Kita sangat sering terjebak pada determinisme yang berujung pada sikap fatalistik, bahwa Tuhan adalah perantara bagi gagalnya kita dalam melakukan sesuatu. Kita sering menisbahkan kesalahan kita kepada Sang Esa tersebut.
Bukan sekedar itu, kita juga sering malahan menyalahkan orang lain atas sesuatu yang menimpa kita. Negara kita saat ini dilanda semacam ‘kemiskinan berjamaah’, tetapi oleh sebahagian orang malahan menyalahkan orang-orang miskin tersebut dengan tuduhan malas dan lain sebagainya. Kita terjebak dengan mem-blaming the victim. Mereka adalah korban dari dosa kolektif kita semua. Kita semua bertanggungjawab terhadap masalah tersebut. Menanggulangi masalah kemiskinan juga mnembutuhkan tindakan kolektif, karena itu konsep takdir dalam agama Islam tidaklah berada pada kutub determinisme, apalagi terletak pada free will. Kita adalah co-creator Allah didunia ini, ucap terminologi tashawwuf.
Kedua, agama Islam bukanlah sarana ‘onani spiritual’ an sich. Dalam agama Islam, bukanlah pendekatan kepada Allah saja yang harus kita lakukan. Kita punya berbagai kerja dari pengejawantahan misi dan visi Islam sebagai agama pembebasan. Agamna Islam memberikan tempat yang sama bagi upaya pendekatan kepada Allah dan pendekatan kepada masyarakat.
Muhammad Iqbal menuliskan sebuah perbedaan yang mencolok dari seorang mistikus dengan seorang nabi. Seorang mistikus, katanya, hanya melakukan perjalanan dari dirinya menuju ke Tuhannya semata. Dan puncak perjalanan seorang mistikus adalah ketika ia ‘bertemu’ Tuhannya. Tetapi seorang nabi, melakukan upaya seorang mistikus dalam pendekatan ke Tuhannya dan melakukan upaya pendekatan kepada masyarakatnya. Seorang nabi menawarkan rekayasa budaya, menawarkan rekayasa sosial dan pembentukan paradigma baru bahwa betapa berfikir rasional adalah senjata ampuh dan berfikir irasional adalah kenaifan. Seorang nabi melakukan siklus kehidupan, yaitu menata spiritual dan intelektual untuk aksi sosial yang kesemuanya dibingkai oleh pandangan dunia tauhid.
Ketiga, agama yang membebaskan tidak terletak pada kata-kata, tetapi pada aksi. Kadang teori-teori dan adagium-adagium keagamaan telah menjejal otak kita terlalu banyak sehingga aksi teramat sering kita lupakan. Kita larut mempelajari dan berteori tentang sesuatu, tapi tidak melakukan sesuatu. Untuk hal ini, mungkin kita harus menyepakati Karl Marx yang ‘membenci’ orang yang hanya berfikir tentang hakikat sesuatu, tetapi tidak berusaha untuk melakukan perubahan. Islam adalah penyerahan diri, penyerahan diri adalah keyakinan, keyakinan adalah pembenaran, pembenaran adalah ikrar, ikrar adalah pelaksanaan, dan pelaksanaan adalah amal perbuatan.
***
Kita harus mulai belajar untuk memisahkan ajaran agama Islam yang rasional dan rasionalisasi ajaran agama Islam oleh manusia. Ada perbedaan signifikan terhadap ajaran agama Islam yang esensial dan membebaskan dengan ajaran agama Islam yang tampak sekarang bahwa seakan-akan tidak membebaskan dan terkurung pada pemahaman sempit yang berangkat dari beda-beda mazhab yang secara malang, hal itu dilakoni dengan fanatik. Dan terciptalah agama yang anti pada keterbukaan dan sarang anti pembebasan.
Memotret Indonesia kita, maka memang harus kita akui bahwa ada semacam ‘paradoksal faktual’. Kita dapat lihat betapa unsur-unsur spiritualitas mengalami eskalasi yang cukup signifikan dengan menjamurnya pengajian-pengajian dan pusat-pusat pengkajian Islam. Hal ini mengingatkan kita pada ramalan John Naissbit bahwa dipenghujung abad 20 akan ada peningkatan perasaan keagamaan. Tetapi juga kita harus melihat secara faktual bahwa terjadi peningkatan kekerasan, terjadi peningkatan kejahatan-kejahatan yang mungkin dapat kita simpulkan bahwa berbanding lurus dengan kenyataan peningkatan spiritualitas. Kita dibanjiri dengan buku-buku yang membawa kita pada dunia spiritualitas tetapi kita juga dibanjiri dengan buku-buku, tabloid-tabloid ataupun koran-koran yang mengantar kita pada dunia pornografis yang rendahan. Kita belum juga membicarakan dunia cyber.
Pertanyaan sekarang adalah Islamkah kita? Atau kita hanya mengaku beragama Islam? Ataukah kita adalah beragama Islam oleh kultur yang terbentuk secara turun-temurun oleh keluarga kita yang secara kebetulan mengecap agama Islam? Ataukah kita adalah Islam yang rasional dengan penagkapan esensi Islam secara tepat? Tentu yang kita harusnya akui adalah yang terakhir, namun sudahkah kita mengetahui Islam esensial yang indah tersebut? Dan setelah kita tahu apa yang harus kita lakukan untuk menembak realitas sekarang menggunakan ‘episteme’ realitas keagamaan Rasulullah di limabelas abad yang lalu tersebut?
Tugas kita memang mencari. Mencari Islam esensial untuk menemukan metodologi yang tepat, lalu mencoba melanjutkan misi profetik kenabian untuk melakukan rekayasa sosial untuk mencapai masyarakat madani. Selamat mencari…! Wallahu a’lam Bishshawab


Vegetarian Oyster Flavoured Sauce


Diriwayatkan dalam al-'Ilal dan al-Amali dengan sanad sampai kepada al-Hassan bin Ali as, dia berkata:

Suatu waktu sekelompok orang Yahudi mendatangi Rasulullah saw seraya menanyakan kepada beliau tentang beberapa masalah. Di antaranya, mereka berkata,

"Beritahukanlah kepada kami dari Allah, untuk apakah Dia menentukan lima waktu solat atas umatmu di malam dan siang hari?"

Rasulullah saw menjawab, (sampai pada jawaban beliau),

"... solat Ashar adalah waktu yang di saat Adam memakan buah pohon (yang dia telah dilarang Allah untuk mendekatinya) itu, maka Allah mengeluarkannya dari surga, lalu Allah memerintahkan anak keturunan Adam untuk mengerjakan solat ini (Ashar) sampai Hari Kiamat, dan Dia memilihkan salat Ashar ini untuk umatku, maka solat Ashar adalah di antara solat yang paling disukai di sisi Allah 'Azza wa Jalla', dan Dia memerintahkan kepadaku untuk menjaganya di antara solat-solat itu."Adapon solat Maghrib, adalah waktu yang di dalamnya Allah menerima tobat Adam, dan jarak antara dia memakan buah pohon itu dan Allah menerima tobatnya adalah tiga ratus tahun dari hari-hari dunia; sedangkan hari-hari akhirat, seharinya adalah sama dengan seribu tahun, dari waktu solat Ashar hingga solat Isya. Oleh kerana itu, Adam mengerjakan solat Maghrib tiga rakaat, iaitu satu rakaat untuk dosanya, satu rakaat untuk dosa Hawa, dan satu rakaat untuk tobatnya. Oleh kerana itu pula, Allah 'Azza wa Jalla mewajibkan solat tiga rakaat ini (Maghrib) atas umatku."Kemudian orang Yahudi itu berkata, "Beritahukanlah kepadaku, untuk apakah dalam berwudhu harus mensucikan anggota-anggota tubuh yang empat ini, padahal ia adalah tempat-tempat yang paling bersih di tubuh?"Nabi saw menjawab, "Sebab, ketika setan membisikkan pikiran jahat kepada Adam, lalu Adam mendekati pohon itu dan memandanginya, maka hilanglah air wajahnya. Kemudian dia berdiri, dan itu adalah awal kaki yang berjalan kepada dosa, kemudian dia mengambil darinya dengan tangannya, kemudian dia mengusapnya, kemudian dia memakannya, maka beterbanganlah semua pakaian dari tubuhnya, kemudian dia meletakkan tangannya pada kepalanya seraya menangis. maka ketika Allah menerima tobatnya, Allah mewajibkan atasnya dan atas anak keturunannya berwudhu pada anggota-anggota tubuh yang empat ini. Allah memerintahkannya membasuh wajah karena dia (Adam) telah memandang pohon itu; memerintahkan membasuh kedua lengan bawah dari siku kerana dia telah mengambil darinya; dan Dia memerintahkannya untuk mengusap kedua kaki karena dia telah berjalan kepada dosa."

Kemudian orang Yahudi itu berkata,

"Beritahukanlah kepadaku, untuk apakah Allah mewajibkan puasa atas umatmu pada siang hari selama tiga puluh hari dan mewajibkan atas Adam lebih banyak dari itu?"

Nabi saw menjawab,

"Sebab, ketika Adam memakan buah pohon itu, sisa makanan itu tinggal di dalam perutnya selama tiga puluh hari, dan allah mewajibkan atas anak keturunannya tiga puluh hari lapar dan dahaga, sedangkan yang mereka makan adalah karunia dari Allah 'Azza wa Jalla kepada mereka. Sebagaimana yang diwajibkan pada Adam, allah mewajibkan atas umatku juga."

Kemudian rasulullah saw membaca (ayat ini):

[b]"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang yang sebelum kamu agar kamu bertakwa, iaitu dalam beberapa hari yang tertentu."


52 Al-Amali, karya ash-Shaduq, hal. 159-162, dan Ilal asy-Syara'i, jil. 2, hal. 32, bab 36.Ayat tersebut adalah dari surah al-Baqarah: 183-184.

Udang, Sos, Kuey Teow serta Taugeh dan Kuchai



Bismillahirrahmanirrahim.


Assalamu’alaikum wr ‘wb.


La ila ha il Allah, MuhammadinRasulullah, ‘Ali Waliyullah.


Allahumma shali ala Muhammadin wa aali Muhammadin Shalallahu alaihi waaliih.


Ketika kulihat telah lewat pada manusia berbagai mazhab yang mengarungi lautan kesesatan dan kebodohan,


Dengan nama Allah, maka kunaiki perahu yang dapat menyelamatkan mereka adalah Ahlul Bait al-Mushtafa penutup para rasul.


Aku berpegang teguh kepada tali Allah,Kepada kepemimpinan mereka seperti yang telah diperintahkan kepada kita untuk berpegang kepada tali Allah.


Ketika umat terpecah menjadi tujuh puluh kelompok melebihi apa yang dijelaskan dalil naqli, tidak ada yang selamat dari kelompok –kelompok itu, kecuali satu kelompok, katakanlah kepadaku, kelompok yang menjadi harapan itu. Apakah keluarga Muhammad berada dalam kelompok yang akan hancur ?


Atau dalam kelompok yang berlepas diri dari mereka,


Katakanlah kepadaku jika kamu berkata, ’Dalam kelompok yang selamat,’


Maka hanya satu ucapan,


Jika kamu berkata, ‘Dalam kelompok yang akan hancur,’


Maka kamu tidak berlaku adil kerana Pemimpin kaum berasal pada mereka,


Aku rela dengan mereka, keselamatanku tidak akan hilang dibawah perlindungan mereka.


Aku rela mengangkat Ali dan keturunannya sebagai Imam.


Dan kamu berada dalam kelompok yanglain yang akan binasa.


Allamahal-Ajili,
Powered By Blogger