Malam sudah larut, dinihari sudah hampir. Angin dingin sahara berhembus dalam kesepian. Bukit-bukit batu, rumah-rumah tanah, pepohonan semua tak bergerak; berdiri kaku seperti rangkaian silhuet. Tapi di tengah masjidil Haram, seorang pemuda berjalan memutari Ka’bah. Usai thawaf, ia berdiri di pintu Ka’bah sambil bergantung pada tirainya. Matanya menatap langit yang sunyi. Tak seorang pun berada di situ, kecuali Thawus Al-Yamani yang menceritakan peristiwa itu kepada kita. Thawus mendengar pemuda itu merintih:
Tuhanku, gemintang langit-Mu telah tenggelam
Semua mata makhluk-Mu telah tertidur
Tapi Pintu-Mu terbuka lebar
Buat pemohon kasih-Mu
Aku datang menghadap-Mu
Memohon ampunan-Mu
Kasihi daku
Perlihatkan padaku wajah kakekku Muhammad saw
Pada mahkamah hari kiamat
(Kemudian ia menangis)
Demi kemuliaan dan kebesaran-Mu
Maksiatku tidaklah untuk menentang-Mu
Kala kulakukan maksiat
Kulakukan bukan karena meragukan-Mu
Bukan karena mengabaikan siksa-Mu
Bukan karena menantang hukum-Mu
Kulakukan karena pengaruh hawa nafsuku
Dan karena kauulurkan tirai untuk menutupi aibku
Kini siapakah yang akan menyelamatkan aku
Dari azab-Mu
Kepada tali siapa aku harus bergantung
Kalau Kau putuskan tali-Mu
Malang nian daku kelak
Ketika bersimpuh di hadapan-Mu
Kala si ringan dipanggil: Jalanlah
Kala si berat dipanggil: Berangkatlah
Aku tak tahu
Apatah aku berjalan dengan si ringan
Atau berangkat dengan si berat
Duhai celakalah aku
Bertambah umurku, bertumpuk dosaku
Tak sempat aku bertobat kepada-Mu
Sekarang aku malu menghadap Tuhanku
(Ia menangis lagi)
Akankah Kau bakar diriku dengan api-Mu
Wahai tujuan segala kedambaan
Lalu, kemana harapku ke mana cintaku
Aku temui-Mu
Degan memiliki amal buruk dan hina
Di antara segenap makhluk-Mu
Tak ada orang sejahat aku
(Ia menangis lagi)
Mahasuci Engkau
Engkau dilawan seakan-akan engkau tiada
Engkau selalu pemurah
Seakan-akan Engkau tak pernah dilawan
Engkau curahkan kasih-Mu pada makhluk-Mu
Seakan-akan Engkau memerlukan mereka
Padahal Engkau, duhai Junjunganku
Tak memerlukan semua itu.
Kemudian ia merebahkan diri bersujud. Thawus bercerita: Aku dekati dia. Aku angkat kepalanya dan kuletakkan pada pangkuanku. Aku menangis sampai airmataku membasahi pipinya. Ia bangun dan berkata, “Siapakah yang mengganggu dzikirku?” Aku berkata, “Aku Thawus, wahai putra Rasulullah.” Untuk apa segala rintihan ini? Kamilah yang seharusnya berbuat seperti ni, karena hidup kami bergelimang dosa. Sedangkan ayahmu Husain bin Ali, ibmu Fathimah Az-Zahra dan kakekmu Rasulullah Saw.”
Ia memandangku seraya berkata, “Keliru, kau Thawus. Jangan sebut-sebut perihal ayahku, ibuku, dan kakekku. Allah menciptakan surga bagi yang menaati-Nya dan berbuat baik, walaupun ia hanya hamba sahaya dari Habsyi. Ia menciptakan neraka buat yang melawan-Nya walaupun ia bangsawan Quraisy. Tidakkah engkau dengar firman Allah –Ketika sangkakala ditiup, tidaklah ada hubungan lagi di antara mereka hari itu dan tidak saling meminta tolong. Demi Allah esok tidak ada yang bermanfaat selain amal saleh yang telah engkau lakukan.
Imam Ali Zainal Abidin adalah Imam keempat dalam rangkaian Imam Ahlulbayt dan terkenal dengan As-Sajjad, yang banyak bersujud.
No comments:
Post a Comment